Ucapan Selamat Hari Raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha

Pengertian Tahniah (Ucapan Selamat)

Secara bahasa tahniah (التَّهْنِئَةُ) sebalik dari ta’ziyah (التَّعْزِيَةُ). Maksudnya tahniah artinya ucapan selamat, sedangkan ta’ziyah artinya ucapan bela sungkawa (berduka cita).[1]

Adapun secara istilah, makna tahniah secara umum tidak berbeda dengan makna bahasa, namun dilihat dari konteks peristiwa istilah tahniah memiliki beberapa makna spesifik (khusus). Seperti tabriik (mendoakan berkah), tabsyiir (memberi kabar baik), tarfi’ah (ucapan selamat nikah), dan lain-lain.

Hukum Tahniah Secara Umum

Secara umum hukum tahniah adalah mustahab (sunat), karena:

  • Tahniah merupakan perpaduan antara tabrik dan doa dari seorang Muslimah kepada sesama Muslimah lainnya atas perkara yang menggembirakan dan disenanginya.
  • Pada tahniah terdapat mawaaddah (saling mencintai), tarahum (saling mengasihi), dan ta’athuf (saling menaruh simpati) di antara kaum Muslimah.

Anjuran umum menyampaikan tahni’ah kepada sesama Muslimah ketika mendapatkan kenikmatan diungkap didalam Al Quran:

كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

(Dikatakan kepada mereka): “Makan dan minumlah dengan enak sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Thur:19)

Sedangkan dalam hadits diperoleh dari beberapa peristiwa, antara lain:

عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ : أُنْزِلَتْ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : {إِنَّا فَتَحْنَا لَك فَتْحًا مُبِينًا} إِلَى آخِرِ الآيَةِ ، مَرْجِعَهُ مِنَ الْحُدَيْبِيَةِ ، وَأَصْحَابُهُ مُخَالِطُو الْحُزْنِ وَالْكَآبَةِ ، قَالَ : نَزَلَتْ عَلَيَّ آيَةٌ هِيَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا جَمِيعًا ، فَلَمَّا تَلاَهَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ : هَنِيئًا مَرِيئًا ، قَدْ بَيَّنَ اللَّهُ مَا يُفْعَلُ بِكَ ، فَمَاذَا يُفْعَلُ بِنَا ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ الآيَةَ الَّتِي بَعْدَهَا : {لِيُدْخِلَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ} حَتَّى خَتَمَ الآيَةَ.

Dari Anas, ia berkata, “Telah diturunkan ayat Inna fatahnaa laka fathan mubinan (Al Fath:1) kepada Rasul ketika kembali dari Hudaibiyah, dan para sahabatnya larut dalam kesedihan. Beliau bersabda, ‘Telah turun ayat kepadaku yang lebih aku cintai daripada dunia dan seluruh isinya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membacanya, seorang laki-laki dari kaum itu berkat, ‘selamat lagi baik akibatnya, sungguh Allah telah menjelaskan apa yang akan diperbuat-Nya kepada Anda, apa yang akan diperbuat kepada kami? Maka Allah menurunkan ayat setelahnya: liyudkhilal mu’minina…hingga akhir ayat’.[2]

Demikian pula peristiwa Ka’ab bin Malik yang tertinggal dari perang Tabuk, yaitu ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan beberapa ayat di akhir-akhir surat At-Taubah tentang diterimanya taubat Ka’ab bin Malik bersama dua orang kawannya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabat segera memberi kabar gembira kepada Ka’ab bin Malik dan mereka (para shahabat) mengucapkan selamat kepadanya. (HR. Al Bukhari dan Muslimah dalam hadits yang panjang tentang kisah Ka’ab bin Malik yang tertinggal dari perang Tabuk).

Tahniah ‘Id

Sebagaimana yang kita maklumi bahwa syariat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha mulai diberlakukan tahun ke-2 H. Bila kita hitung sejak saat itu hingga akhir hayat Nabi tinggal di Madinah, berarti beliau sempat melaksanakan syariat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha sebanyak sembilan kali. ‘Idul Fithri perdana, hari Senin, 1 Syawal 2 H/26 Maret 624 M. Sedangkan ‘Idul Fithri terakhir hari Senin, 1 Syawal 10 H/30 Desember 631 M.

Meskipun demikian, secara periwayatan tentang doa tahniah ‘Id, dari kesembilan kali ‘Id itu, kami hanya menemukan satu riwayat yang menerangkan bentuk doa khusus yang katanya diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika bertemu dengan sahabatnya di saat ‘Id. Watsilah bin Al Asqa’ berkata:

لَقِيتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عِيدٍ فَقُلْتُ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ. فَقَالَ : نَعَمْ تَقَبَّلَ الله مِنَّا وَمِنْكَ

“Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu ‘Id, aku mengucapkan: taqabbalallah minnaa waminka (Mudah-mudahan Allah menerima ibadah kami dan Anda). Beliau menjawab,’ Ya, taqabbalallah minnaa waminka (mudah-mudahan Allah menerima ibadah kami dan Anda)”.[3]

dengan redaksi:

يَا رَسُوْلَ اللهِ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ ، قَالَ : نَعَمْ تَقَبَّلَ الله مِنَّا وَمِنْكَ

“Wahai Rasulullah, taqabbalallah minnaa waminka (Mudah-mudahan Allah menerima ibadah kami dan Anda). Beliau menjawab, ‘Ya, taqabbalallah minnaa waminka (mudah-mudahan Allah menerima ibadah kami dan Anda).”

Kedua redaksi di atas diriwayatkan melalui Muhamad bin Ibrahim asy-Syami, dari Baqiyyah bin Al Walid, dari Tsaur, dari Khalid bin Ma’dan, dari Watsilah bin Al Asqa.

Namun hadits ini dhaif, bahkan maudhu’ (palsu), karena diriwayatkan oleh seorang pemalsu hadits bernama Muhamad bin Ibrahim asy-Syami. Kata Ibnu Adi, “Dan ini adalah munkar, saya tidak mengetahui yang meriwayatkan hadits itu dari Baqiyyah selain Muhamad bin Ibrahim ini.”[4]

Kata Ibnu Hiban, “Muhamad bin Ibrahim asy-Syami Abu Abdullah seorang kakek, dia berkeliling/tinggal di Irak dan bertetangga dengan ‘abadan, dia memalsu hadits atas nama orang-orang Syam. Tentang dia telah dikabarkan kepada kami oleh Abu Ya’la, Al Hasan bin Sufyan, dan lain-lain: Tidak halal periwayatan darinya kecuali sekedar I’tibar (penelitian). Kata ad-Daraquthni, ‘Dia pendusta’. Kata Abu Nu’aim, “Dia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari Al Walid bin Muslimah, Syu’aib bin Ishaq, Baqiyyah, dan Suwaid bin Abdul Aziz’. Kata Ibnu ‘Adi, ‘Munkar Al Hadits dan seluruh hadits-haditsnya tidak terpelihara’.”[5]

Dengan demikian, dapat diyakini bahwa tidak ditemukan satu bentuk doa khusus yang diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika bertemu dengan para sahabatnya di saat ‘Id.

Demikian pula riwayat yang menyatakan sebaliknya, yaitu saling mengucapkan doa taqabbalallah minnaa waminkum pada hari raya itu adalah perbuatan Ahli Kitab sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi,[6] melalui Nu’aim bin Hammad, dari Abdul Khaliq bin Zaid, dari Makhul, dari Ubadah bin Ash Shamith, statusnya dhaif pula karena tiga sebab:

Pertama, rawi Ni’aim bin Hamad. Kata Ibnu Hajar, “Dia shaduq, banyak keliru.”[7]

Kedua, rawi Abdul Khaliq bin Zaid bin Waqid ad-Dimasyqi. Kata Imam Al Bukhari, “Munkarul Hadits.”[8]

Ketiga, periwayatan Makhul dari Ubadah bin Shamith inqitha (terputus), karena Makhul tidak pernah menerima hadits dari Ubadah.[9]

Adapun periwayatan doa tahniah ‘Id yang kami dapati adalah sebagai perbuatan para sahabat, sebagaimana dijelaskan oleh Jubair bin Nufair:

 كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذاَ إِلْتَقَوْا يَوْمَ العِيدِ يَقُولُ بَعْضُهَا لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ. قَالَ الحاَفِظُ إِسْناَدُهُ حَسَنٌ.

Adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, apabila saling bertemu satu sama lain pada hari raya ‘Id, berkata yang satu pada yang lainnya, Taqabbalallahu minna wa minkum. (Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan engkau).

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan,

رَوَيْنَاهُ فِي الْمَحَامِلِيَاتِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ

“Kami telah meriwayatkannya dalam Al Mahamiliyat dengan sanad hasan.”[10]

Keterangan:

Al Mahamiliyat atau disebut Juga Al Ajzaa Al Mahamiliyat dan Amali Al Mahamili, berisi riwayat orang-orang Baghdad dan Asbahan, karya Abu Abdullah Al Husen bin Ismail bin Muhamad Al Baghdadi Al Mahamili (w. 630 H). [11]

Dalam riwayat Abul Qasim Al Mustamli dengan redaksi

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ

Artinya: Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kalian.”[12]

Dalam riwayat lain diterangkan dari Shafwan bin Amr As Saksaky berkata:

سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ بِسْرٍ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَائِذٍ وَجُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ وَخَالِدَ بْنَ مَعْدَانَ يُقَالُ لَهُمْ فِي أَيَّامِ الأَعْيَادِ : تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ, وَيَقُوْلُوْنَ ذَلِكَ لِغَيْرِهِمْ.

Aku mendengar Abdullah bin Bisr, Abdurahman bin ‘Aidz, Jubair bin Nufair dan Khalid bin Ma’dan bahwa pada hari-hari ‘Id dikatakan kepada mereka Taqabbalallahu minna waminkum, dan mereka pun mengucapkan seperti itu kepada yang lainnya.

Kata Imam As Suyuthi, hadits ini diriwayatkan oleh Al Asbahani dalam at-Targhib wat Tarhib I:251. [13]

Demikian pula diterangkan oleh Muhamad bin Ziyad, ia berkata:

كُنْتُ مَعَ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ وَغَيْرِهِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ  فَكَانُوْا إِذَا رَجَعُوْا مِنَ الْعِيْدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ.

“Aku beserta Abu Umamah Al Bahili dan yang lainnya dari kalangan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mereka itu apabila pulang dari shalat ‘Id saling mengucapkan “Taqabbalallahu minna waminka”.[14]

Sedangkan dalam riwayat Zahir bin Thahir dengan redaksi:

رَأَيْتُ أَبَا أُمَامَةَ البَاهِلِيّ يَقُوْلُ فِي الْعِيْدِ لأَصْحَابِهِ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ

“Aku melihat Abu Umamah Al Bahili di hari ‘Id berkata pada para sahabatnya “Taqabbalallahu minna waminkum”.[15]

Amal para sahabat itu diteladani oleh para tabi’in, antara lain sebagai berikut:

Syu’bah bin Al Hajjaj (w. 160 H) berkata:

لَقَيْتُ يُوْنُسَ بْنَ عُبَيْدٍ فَقُلْتُ : تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ فَقَالَ لِي مِثْلَهُ.

Aku bertemu dengan Yunus bin Ubaid (w. 139 H) lalu aku berkata, “Taqabbalallahu minna waminka”, maka dia pun berkata seperti itu kepadaku.[16]

Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil kesimpulan:

  1. Pengamalan doa tahniah, baik ‘Idul Fithri maupun ‘Idul Adha, berdasarkan amal sahabat
  2. Pengamalan doa ini tidak hanya berlaku hari ‘Id saja (hari itu saja)
  3. Redaksi doa tahniah adalah Taqabbalallahu minna wa minka atauTaqabbalallahu minna wa minkum. Sedangkan tambahan shiyamana wa shiyamakum tidak ditemukan periwayatannya.
  4. Doa ini saling diucapkan antara satu dengan yang lain ketika bertemu, bukan sebagai jawaban. Sedangkan membalas doa ini dengan ucapan aamien tidak ditemukan riwayatnya.


[1] Lihat, Mu’jam Maqayis Al Lughah, VI:68

[2] HR Ahmad, Al Musnad, III:252, No. 13.664, Ibnu Abu Syaibah, Al Mushannaf, VII:408, No. 36.937, Ibnu Hiban, Shahih Ibn Hiban, II:93, No. 371, Abu Ya’la, al-Musnad, V:385, No. hadits 3045

[3] HR Al Baihaqi, as-Sunan Al Kubra, III:319, No. hadits 6088, dan Ibnu Adi, Al Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal, VI:271

[4] Al Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal, VI:271

[5] Kitab Al Majruhin, II:301

[6] As-Sunan Al Kubra, III:319, No. hadits 6091), Ibnul Jauzi (Al Ilal Al Mutanahiyah, II:548), Ibnu Asakir (Tarikh Dimasyqa, XXXIV:97-98

[7] Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, X:462

[8] Lihat, as-Sunan Al Kubra, III:320

[9] Lihat, Jami’ at-Tahshil fi Ahkam Al Marasil, hal. 285

[10] Lihat, Fath Al Bari Syarh Shahih Al Bari, II:446

[11] Lihat, Kasyf azh-Zunun, I:588

[12] Lihat, Hasyiah at-Thahawi ‘ala Al Maraqi, II:527.

[13] Lihat, Wushul Al Amani bi Ushul Al Tahani, hal. 66

[14] HR Ibnu Aqil, Al Fathurrabbani, VI:157

[15] Lihat, Wushul Al Amani bi Ushul Al Tahani, hal. 66

[16] HR. at-Thabrani, Wushul Al Amani bi Ushul Al Tahani, hal. 66