Tatacara Melaksanakan Shalat ‘Id (Shalat Hari Raya)

1. Waktu Shalat ‘Id

Awal waktu shalat ‘Id ialah setelah meningginya matahari, kira-kira setinggi tombak (sekitar jam 7 pagi), berdasarkan hadits Abdullah bin Busr, ketika beliau menegur keterlambatan imam seraya berkata,

إِنَّا كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِينَ التَّسْبِيحِ

“Sesungguhnya kami dahulu bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. sebenarnya sudah selesai shalat [1]‘Id seperti pada waktu sekarang, yaitu pada waktu shalat sunnah.”

Ibnu Hajar  berkata, “Ungkapannya:   حِيْنَ التَّسْبِيْحِ وَذَلِكَ yakni pada waktu shalat sunnah, yaitu jika waktu makruh shalat sudah berlalu, dalam riwayat shahih milik ath-Thabrani disebutkan: “Yaitu, ketika waktu shalat sunnah dhuha.” [2]

Yang utama ialah menyegerakan shalat ‘Idul ‘Adhha jika matahari sudah naik kira-kira setinggi tombak .[3]

Hal tersebut disebabkan karena pada setiap hari raya terdapat amalan tersendiri. Amalan hari raya ‘Idul ‘Adhha adalah berkurban, dan waktunya setelah pelaksanaan shalat. Maka pada penyegeraan shalat ‘Idul ‘Adhha terkandung keluasan untuk pelaksanaan qurban.[4]

2. Shalat ‘Id Dilakukan Sebelum Khutbah

Dalilnya,

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ يُصَلُّونَ الْعِيدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ . رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ إلَّا أَبَا دَاوُد .

Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Abu Bakar, dan Umar melaksanakan shalat ‘Id sebelum khutbah.” HR Al Jama’ah kecuali Abu Dawud

3. Tidak Ada Adzan dan Iqamat Dalam Shalat ‘Id

Dalilnya,

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ : صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الْعِيدَ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إقَامَةٍ . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ 

Dari Jabir bin Samurah, ia berkata, ”Aku shalat ‘Id bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bukan sekali dua kali dengan tanpa adzan dan iqamah.”[5]

4. Tidak ada Shalat sunat qabliyah (sebelum) dan ba’diyah (setelah) shalat ‘Id

Ada beberapa keterangan yang katanya menunjukkan bahwa para sahabat ada yang melaksanakan shalat qabliyah atau ba’diyah shalat ‘Id, namun semua keterangan itu dhaif. Sedangkan berdasarkan hadits sahih adalah sebagaimana amaliyah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عِيْدٍ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ  لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا وَلاَ بَعْدَهُمَا. – رواه الجماعة –

Dari Ibu Abbas Radhiyallahu ‘Anh, ia mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. keluar pada hari ‘Id dan beliau shalat dua rakaat yang beliau tidak shalat sebelum ataupun sesudahnya.” (HR Al-Jamaah)

5. Takbir Pada Shalat ‘Id

Hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah Takbir di dalam shalat ‘Id, ada dua macam. Ada yang lemah dan ada pula yang kuat dan dapat dijadikan hujjah.

Hadits yang kuat adalah takbir 7 kali pada rakaat pertama (termasuk takbiratul ihram dipermulaan) dan 5 kali pada rakaat kedua (termasuk takbir ketika bangkit dari sujud kedua menuju rakaat kedua). Adapun haditsnya melalui sanad dari Amr bin Syua’aib, dari bapaknya, dari kakeknya. :

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ في عِيْدٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً، سَبْعًا فِي الأُوْلَى وَخَمْسًا فِي الآخِرَةِ.

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertakbir pada shalat ‘Id dua belas takbir, yaitu tujuh pada rakaat pertama dan lima pada rakaat ke dua.”

Keterangan:  Amr menerima hadits dari bapaknya yaitu Syu’aib, dan Syu’aib menerima hadits ini dari kakeknya yaitu Abdullah, sebagaimana tercatat pada kitab Abu Dawud.

Perihal hadits ini Ad-Dzahabi menerangkan bahwa Syu’aib itu sezaman dengan kakeknya (Abdullah bin Amer bin Al Ash) dan mendengar (belajar) daripadanya. Dengan demikian hadits tersebut tidak mursal alias mausul (bersambung) sandanya hingga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Hadits dengan matan tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah, dan yang semakna (semacam) dengan itu diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ad-Daraqutni dengan lapal sebagai berikut :

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلتَّكْبِيرُ فِي الفِطْرِ سَبْعٌ فِي الأُولىَ وَخَمْسٌ فِي الآخِرَةِ، وَالقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. bersabda, “Takbir pada shalat ‘Idul Fitri itu tujuh pada rakaat pertama dan lima pada rakaat akhir, dan bacaan (Fatihah dan Surat lain) setelah keduanya pada keduanya.”

Imam Ahmad dan Ali bin Al Madini menyatakan bahwa hadits ini sahih. Dan Imam Ahmad berkata, “Dan aku berpegang terhadap hadits ini.”[6]

Sayyid Sabiq menerangkan, “Bahwa takbir tujuh-lima adalah pendapat yang paling kuat dan menjadi pendirian kebanyakan ahli ilmu, baik dari kalangan Sahabat, Tabi’in ataupun Imam-imam.[7]

Sedangkan apabila ada yang beramal takbir satu kali sebagaimana shalat pada umumnya, maka tidak ada dalilnya sama sekali walau sekedar yang lemah.

6. Bacaaan di Antara Takbir Pada Shalat ‘Id

Tidak ada hadits shahih yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca do‘a atau dzikir tertentu ketika diam antara jumlah takbir shalat ‘Id. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.[8]

7. Shalat ‘Id Lebih Utama di Mushala (Lapang/Tempat Terbuka)

Rasulullah memerintahkan kepada seluruh para sahabatnya agar keluar dan mengeluarkan siapa pun termasuk perempuan-perempuan pingitan atau yang sedang haid, agar menuju mushala. Dan mushala yang dimaksud pada saat itu adalah sebuah tanang lapang yang ada dipinggiran kota Madinah sebelah timur.

Tidak terdapat keterangan yang sahih bahwa selama 9 kali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. mengalami ‘Idul fitri, beliau menjalankan shalat ‘Id di masjid. Demikian pula halnya dengan para sahabat beliau. Ini menunjukkan bahwa shalat ‘Id di tanah lapang lebih utama karena sesuai dengan sunnah Rasul. Adapun hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. shalat dimesjid karena pada saat itu terjadi hujan haditsnya daif. Adapun redaksinya sebagai berikut.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ أَنَّهُمْ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فِي يَوْمِ عِيْدٍ ، فَصَلَّى بِهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ العِيْدِ فِي المَسْجِدِ. – رواه ابو داود وابن ماجة والحاكم.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditimpa hujan pada hari ‘Id, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat mengimami mereka shalat ‘Id tersebut di mesjid.[9]

Hadits ini dhaif (lemah sekali) Adz-Dzahabi mengatakan, “Hadits ini munkar.” Ibnu Hajar Al Asqalani mengatakan, “Pada sanadnya terdapat kelemahan.”[10]

Menyimak Khutbah Setelah Shalat ‘Id

Termasuk Sunnah Nabi ialah melaksanakan khutbah setelah shalat ‘Id. Dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas berkata (artinya), “Aku pernah ikut shalat ‘Id bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam., Abu Bakar, ‘Umar dan Usman. Mereka semua mengerjakan shalat sebelum khutbah. (HR Al Bukhari dan Muslim)

Mendengarkan khutbah ‘Id meskipun hukumnya tidak wajib, namun alangkah ruginya apabila tidak disimak dengan sebaik-baiknya. Dari Abdullah bin as-Sa’ib, dia berkata (artinya), ”Aku pernah menghadiri ‘Id bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika selesai shalat beliau bersabda, ‘Sesungguhnya kami akan berkhutbah, maka barangsiapa ingin duduk untuk mendengarkannya, dipersilahkan untuk duduk’ (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).



[1] HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:295, No. 1135; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:418, No. 1317; Al Baihaqi, As-Sunan Al Kubra, III:282, No. 5943; Al Hakim, Al Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:434, No. 1092

[2] Lihat, Fath Al Bari Syarh Shahih Al Bukhari, II:529

[3] Lihat, Irwaa‘ Al Ghalil, karya Al Albani, III:100-101

[4] Lihat, Al Mughni, III:267

[5] HR Ahmad, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi

[6] Lihat, Fiqh as-Sunnah, II : 270

[7] Lihat, Fiqh as-Sunnah, III : 270

[8] Lihat, Tamamul Minnah, Al Albani, 349-350

[9] . HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim

[10] Lihat, Fiqh as-Sunnah, I: 268