Pedoman Zakat Fithri (6): Waktu Pembagian Zakat Fithri
Zakat Fithri adalah ibadah yang mudhayyaq, yaitu tertentu dan terbatas waktunya. Karena itu membagikan zakat Fithri harus tepat pada waktunya. Kapan waktu yang tertentu dan terbatas itu? Abu Sa’id Al Khudriy berkata:
كُناَّ نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
“Kami (para sahabat) mengeluarkan zakat Fithri di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam pada (waktu) hari raya Fithri (berupa) satu shaa’ dari makanan.”[1]
Keterangan Abu Sa’id di atas menjadi petunjuk bahwa ketentuan waktu mengeluarkan zakat Fithri yang berlaku di zaman Rasulullah adalah pada yawmal Fithri (siang hari raya Fithri), bukan pada malam hari.
Perbuatan para sahabat di atas merupakan pengalaman dari instruksi Rasulullah, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Umar :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلىَ الصَّلاَةِ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam memerintah dengan zakat Fithri, supaya dilakukan sebelum orang keluar (pergi) ke salat (hari raya).” (HR. Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, II:679, No. hadits 1438)
Dalam riwayat lainnya dengan redaksi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam memerintahkan agar membayar zakat fithrah sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat ‘Id.[2]
Dalam riwayat lain dengan menggunakan kalimat
أَمَرَ بِإِخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ
“memerintahkan agar mengeluarkan zakat fithrah.”[3]
Selain itu, menggunakan pula kalimat shadaqah al Fithri:
أَمَرَ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ
“Memerintahkan agar membayar shadaqah fithri.”[4]
Sedangkan dalam riwayat Ad-Daraquthni dengan kalimat amara bihaa (Sunan Ad-Daraquthni, II:153, No. hadits 69)
Sedangkan di dalam riwayat At-Tirmidzi digunakan redaksi sebagai berikut :
كَانَ يَأْمُرُ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ قَبْلَ الْغُدُوِّ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam memerintah untuk mengeluarkan zakat (Fithri) pada hari Fithri sebelum pergi salat (hari raya)”. (HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:62, No. hadits 677)
Berdasarkan keterangan Ibnu Umar diatas—dengan berbagai bentuk redaksi—maka semakin jelaslah makna yawmal Fithri itu, yakni bukan malam hari dan bukan pula sepanjang hari raya, tapi sebagiannya saja, yaitu sejak terbit fajar hingga selesai salat hari raya (‘Id) setempat.
Untuk lebih jelasnya, Ibnu Tin menyatakan sebagai berikut :
قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلىَ الصَّلاَةِ أَيْ قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى صَلاَةِ الْعِيْدِ وَبَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ
“(Maksud) sebelum orang keluar (pergi) ke salat (hari raya) ialah sebelum orang keluar untuk salat Idul Fithri dan setelah salat subuh.”[5]
Kemudian Ikrimah menegaskan pula, “Seseorang mendahulukan zakatnya pada “hari raya Fithri” di hadapan salatnya, karena Allah telah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
‘Sungguh beruntung orang yang membersihkan (berzakat) dan mengingat Tuhannya, kemudian ia salat’.”[6]
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka ketentuan waktu untuk menyampaikan zakat Fithri kepada para mustahiq itu adalah dimulai sejak fajar hari raya Fithri sampai selesai salat ‘‘Id setempat. Hal itu bukan hanya di contohkan saja, melainkan diperintahkan, yang kemudian senantiasa dipraktikkan oleh para sahabat, baik pada zaman Rasulullah maupun sesudahnya. Ketentuan ini berlaku, baik bagi perorangan ataupun kelembagaan (jami’ zakat).
Yang menjadi permasalahan, apakah ketetapan ini berkaitan dengan suatu ‘illah (alasan, sebab) tertentu? Sehubungan dengan itu Syekh Al Qaradhawi menyatakan, “Hadits yang menerangkan waktu pembagian zakat Fithri itu bersifat temporer atau situasional, artinya ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anggota masyarakat di masa itu, mengingat sedikitnya jumlah anggota masyarakat di masa itu, sementara mereka saling mengenal satu sama lain, dan karena itu pula dengan mudah dapat mengetahui siapa-siapa yang memerlukan zakat Fithri tersebut. Jadi, tidak ada problem apapun yang berkaitan dengan sempitnya waktu untuk itu.”[7]
Dalam hal ini, penulis tidak sependapat dengan pemikiran Syekh Al Qaradhawi di atas mengingat tidak adanya dalil dari seorang sahabat pun, setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam wafat, yang menetapkan perubahan waktu tersebut (setelah shubuh), sekalipun situasi dan kondisinya telah berubah.
Ada sebagian pihak yang berpendapat bahwa mengeluarkan zakat Fithri boleh dilakukan pada malam hari setelah maghrib sebelum shubuh di hari Fithri, bahkan sehari atau dua hari sebelum hari raya.
Pendapat itu didasarkan riwayat sebagai berikut:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِي اللَّه عَنْهمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan Ibnu Umar menyerahkan zakat Fithri kepada mereka yang menerimannya, dan mereka menyerahkannya sehari atau dua hari sebelum hari raya.” (HR. Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, II: 549, No. hadits 1440)
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُؤَدِّيهَا قَبْلَ ذَلِكَ بِالْيَوْمِ وَالْيَوْمَيْنِ
“Ibnu Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II: 111, No. 1610)
وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُؤَدِّي قَبْلَ ذَلِكَ بِيَوْمٍ وَيَوْمَيْنِ
“Dan bahwa Abdullah bin Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 90, No. 2421)
وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ كَانَ يُؤَدِّيهَا قَبْلَ ذَلِكَ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan bahwa Abdullah menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, IV: 174, No. 7527; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, VIII: 94, No. hadits 3299)
Hemat kami, riwayat ini tidak dapat dijadikan dalil tentang kebolehan mengeluarkan zakat Fithri pada malam hari setelah maghrib sebelum shubuh di hari Fithri, apalagi sehari atau dua hari sebelum hari raya, dengan pertimbangan sebagai berikut:
Riwayat ini belum menerangkan secara jelas, kepada siapa zakat itu diserahkan, apakah membagikan langsung kepada mustahiq atau menitipkannya kepada ‘amil?
Berdasarkan riwayat-riwayat lain, maka dapat dipastikan bahwa Ibnu Umar menyerahkan zakat sehari atau dua hari sebelum hari raya itu bukan membagikannya kepada mustahiq, namun menitipkannya kepada ‘amil. Adapun riwayat itu sebagai berikut :
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ
Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar mengirimkan zakat Fithrinya kepada orang yang mengumpulkan zakat (jami’ zakat) dua hari atau tiga hari sebelum ‘Idul Fithri.[8]
Bahkan lebih di tegaskan lagi di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, melalui jalan Abu Harits, dari Ayyub, ia berkata:
قُلْتُ : مَتَى كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي الصَّاعَ ؟ قَالَ : إِذَا قَعَدَ الْعَامِلُ ، قُلْتُ : مَتَى كَانَ الْعَامِلُ يَقْعُدُ ؟ قَالَ : قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Aku bertanya (kepada Nafi), ‘Kapan Ibnu Umar menyerahkan zakat Fithri sebesar 1 shaa’?’ Ia (Nafi) menjawab, ‘Apabila amil zakat telah ada (dibentuk).’ Aku bertanya lagi, ‘Kapan amil itu di bentuk?’ Ia menjawab, ‘Satu hari atau dua hari lagi menjelang idul Fithri’.”[9]
Oleh karena itu, Abu Abdullah (Imam Al Bukhari) menegaskan dalam naskah As-Shaghani bahwa “mereka memberikan zakat Fithri (sebelum hari raya) lil jam’i (untuk dikumpulkan) laa lil fuqaaraa` (bukan kepada fakir-miskin).”[10]
Berdasarkan keterangan diatas, maka sehari, dua hari, atau tiga hari sebelum hari raya itu bukan waktu untuk membagikan kepada para mustahiq, tapi kepada jami’ zakat sebagai amanat untuk di bagikan kepada para mustahiq, nanti pada waktunya. Hal ini sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Abu Sa’id beserta para sahabat lainnya.
Dengan demikian, maka dapat kita simpulkan bahwa ketentuan waktu mengeluarkan zakat Fithri—setelah salat subuh hingga selesai salat ‘Id setempat—adalah ketentuan yang berlaku secara umum, tidak dibatasi oleh sebab keadaan situasi dan kondisi suatu daerah tertentu.
Renungan: Ketentuan Waktu Tidak Membatasi Teknis Operasional
Kita memaklumi bahwa di masa sahabat, lingkup masyarakat kian meluas, tempat-tempat kediaman makin berjauhan dengan penghuni yang makin banyak. Situasi dan kondisi masyarakat yang seperti ini tidak di jadikan sebab atau alasan oleh mereka untuk mengubah ketentuan waktu mengeluarkan zakat Fithri yang telah di gariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, tapi justru keadaan ini menjadi pendorong bagi mereka untuk mengatur langkah serta menyusun strategi yang sedemikian rupa sehingga zakat Fithri yang diamanatkan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan pengetahuan mendalam para sahabat akan hikmah ajaran agama, maka instruksi Rasulullah dalam masalah ini tidak hanya dipahami sebagai syarat maqbul (diterima) dan tidaknya zakat tersebut, tapi lebih jauh dari itu mereka pun menangkap isyarat dari perintah tersebut tentang teknis pelaksanaan agar diperhatikan dan dipikirkan secara matang, sehingga dalam waktu yang sudah ditentukan zakat Fithri tersebut dapat ditunaikan.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat di zaman Ibnu Umar berdasarkan riwayat diatas, mereka (para amil) dibentuk atau mulai melaksanakan tugasnya adalah dua atau tiga hari sebelum hari raya. Berarti waktu sebanyak itu dianggap cukup atau memungkinkan bagi mereka untuk bekerja, yaitu mengurus, menagih, dan membagikan zakat kepada para mustahiq sesuai dengan lingkup teritorial ketika itu.
Berdasarkan petunjuk diatas, maka jelaslah bagi kita bahwa para sahabat tidak mengkondisikan hukum syara’ (ketentuan waktu) sesuai dengan keadaan ruang lingkup masyarakat, tetapi mereka lebih menitik-beratkan perhatiannya pada pengefektifan fungsi serta tugas ‘amilin agar zakat Fithri tersebut dapat diterima oleh para mustahiq dalam lingkup masyarakat yang kian meluas, sesuai dengan ketentuan waktu yang telah digariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam. Wallahu A’lam.
[1] HR. Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, II:548, No. hadits 1439
[2] HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 679, No. hadits 986; Ahmad, Musnad Ahmad, II:67, No. hadits 5345; II: 154, No. hadits 6429; An-Nasai, As-Sunan Al Kubra, II:30, No. hadits 2300; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:111, No. 1610; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 91, No. 2422; Al Baihaqi, As-Sunan Al Kubra, IV: 174, No. hadits 7526; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:249, No. 780; Ibnul Jarud, Al Muntaqaa, I:98, No. hadits 359
[3] HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 90, No. 2421; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:152, No. hadits 66
[4] HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:54, No. 2521; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:91, No. hadits 2423
[5] Lihat, Fathul Bari, III : 439
[6] Lihat, Fathul Bari, III : 439
[7] lihat, Bagaimana Memahami Hadits Nabi, 1993 : 144
[8] HR. Malik, Al Muwatha, I:285; No. 629; Asy-Syafi’i, Musnad Asy-Syafi’I, I:230; Al Baihaqi, As-Sunan Al Kubra, IV: 112, No. 7161
[9] HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:82, No. hadits 2397
[10] Lihat, Fathul Bari, III : 440-441