Pedoman Zakat Fithri (4): Makanan Pokok Menjadi Syarat Sah Zakat Fithri

Di dalam hadits-hadits tentang zakat Fithri, kita akan mendapatkan bahwa zakat Fithri itu berupa tha’aam (makanan). Adapun hadits-hadits itu sebagai berikut: 

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ

Ibnu Umar mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam mewajibkan zakat Fithri satu shaa’ dari kurma, atau satu sha dari syair (gandum)” (HR. Al Bukhari,  Shahih Al Bukhari, II:548, No. hadits 1439)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam mewajibkan zakat Fithri satu shaa’ dari kurma, atau satu shaa’ dari syair (gandum), atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan Muslimin. (HR. Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, II:548, No. hadits 1439)

Dari hadits-hadits di atas kita dapat mengetahui bahwa bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam menetapkan zakat Fithri dengan dua jenis makanan: kurma & gandum.

Apabila hadits-hadits diatas dibaca secara mantuq (makna tersurat) dan konsisten tidak akan menerima mafhum (makna tersirat), maka zakat Fithri yang wajib dikeluarkan terbatas jenisnya, yakni kurma dan gandum. Adapun kata Tha’aam pada hadits Abu Sa’id Al Khudriy tidak dapat dimaknai makanan secara umum karena sudah ada bayaan tafshiil (keterangan terperinci) pada hadits-hadits di atas.

Berdasarkan pendekatan mantuq hadits-hadits itu, maka zakat Fithri dengan beras atau jagung pada dasarnya tidak sesuai dengan mantuq-nya, kedudukannya sama dengan mengeluarkan dalam bentuk qiimah (harga atau nilai barang).

Namun, benarkah demikian pesan utama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, yaitu bahwa zakat Fithri wajib dikeluarkan hanya dalam bentuk kurma dan gandum?

Hemat kami, kalimat min tamrin atau min sya’iir dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayaan lit takhsiis (keterangan pengkhusus), melainkan bayaan lit tanshiish (keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi muzakki (wajib zakat) dan mustahiq (penerima zakat) di suatu daerah tertentu. Hal itu didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, dari sisi Muzakki

Kedua jenis makanan tersebut pada waktu itu lebih mudah didapat atau biasa dimiliki secara umum. Kondisi ini demikian itu dapat kita peroleh dalam praktik pembayaran zakat Fithri yang dilakukan oleh para sahabat sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم حِينَ فَرَضَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ يَقُولُ : صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعٌ مِنْ شَعِيرٍ قَالَ : فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يُخْرِجُ إِلاَّ التَّمْرَ فَفَنِيَ تَمْرُهُ عَامًا فَأخْرَجَ صَاعَ شَعِيرٍ مَكَانَ التَّمْرِ

“Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam ketika mewajibkan zakat Fithri, beliau bersabda, ‘Satu sha’ kurma, atau satu shaa’ syair (gandum). Nafi berkata, ‘Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh  bila berzakat tidak pernah mengeluarkan yang lain selain kurma. Pada suatu tahun ketika kurmanya rusak ia mengeluarkan satu sha’ gandum sebagai pengganti kurma.” HR. Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:549, No. 1440)

Dalam riwayat lain, Nafi’ menjelaskan dengan redaksi sebagai berikut:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ لاَ يُخْرِجُ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ إِلاَّ التَّمْرَ إِلاَّ مَرَّةً وَاحِدَةً فَإِنَّهُ أَخْرَجَ شَعِيراً

“Sesungguhnya Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh  dalam berzakat Fithri tidak pernah mengeluarkan yang lain selain kurma kecuali satu kali, ia mengeluarkan gandum.” HR. Malik, Al Muwatha :222, No. 778)

فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِي التَّمْرَ فَأَعْوَزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مِنْ التَّمْرِ فَأَعْطَى شَعِيرًا 

“Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anh  bila berzakat dia memberikannya dengan kurma. Kemudian penduduk Madinah kesulitan mendapatkan kurma, akhirnya Ibnu Umar mengeluarkan gandum.” (HR. Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, II:549, No. 1440; As-Sunan Al Kubra, IV:160, No. 7467)

Dalam riwayat Abu Dawud dan Al Baihaqi dengan redaksi:

فَأَعْوَزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ التَّمْرَ عَامًا فَأَعْطَى الشَّعِيرَ

“Kemudian penduduk Madinah sulit mendapatkan kurma pada suatu tahun, kemudian ia memberikan gandum.” (Lihat, Sunan Abu Dawud, II:113, No. 1615; As-Sunan Al Kubra, IV:164, No. 7468)

Sehubungan dengan amal Ibnu Umar di atas, Imam Al Baji berkata:

قَوْلُهُ كَانَ لَا يُخْرِجُ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَّا التَّمْرَ ؛ لِأَنَّهُ كَانَ قُوتَهُ وَقُوتَ أَهْلِ بَلَدِهِ بِالْمَدِينَةِ فَلِذَلِكَ كَانَ يَرَى أَنْ لَا يُجْزِيَهُ غَيْرَ التَّمْرِ وَكَانَ يَقْتَصِرُ عَلَى إخْرَاجِهِ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهُ كَانَ يُخْرِجُهُ مَعَ التَّمَكُّنِ مِنْ الشَّعِيرِ وَيَقُوتُ بِهِ ؛ لِأَنَّهُ كَانَ يَرَى أَنَّ التَّمْرَ أَفْضَلُ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ الشَّعِيرُ يُجْزِيهِ وَقَدْ قَالَ أَشْهَبُ أَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يُخْرَجَ بِالْمَدِينَةِ التَّمْرُ وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّهُ أَفْضَلُ أَقْوَاتِهِمْ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكَادُ يُقْتَاتُ فِيهَا إِلَّا التَّمْرُ أَوْ الشَّعِيرُ وَأَمَّا اقْتِيَاتُ الْقَمْحِ فَنَادِرٌ

“Perkataanya: ‘Dia (Ibnu Umar) dalam berzakat Fithri tidak pernah mengeluarkan yang lain selain kurma,’ karena kurma adalah makanan pokoknya dan makan pokok penduduk Madinah, karena itu ia berpendapat bahwa zakat Fithri itu tidak memadai dengan yang lain selain kurma, dan ia membatasi zakat Fithri hanya pada kurma. Dan dapat dimaknai pula bahwa, ia mengeluarkan kurma—padahal gandum pun berkedudukan sebagai makanan pokoknya—karena ia berpendapat bahwa kurma lebih utama daripada gandum, meskipun dengan gandum memadai pula. Sungguh Asyhab berkata, ‘Kurma lebih aku sukai untuk dikeluarkan di Madinah.’ Dan aspek pertimbangan itu bahwa kurma adalah makanan pokok mereka yang lebih utama, karena hampir tidak ada makanan di sana selain kurma dan gandum. Adapun makanan pokok berupa qamh (biji gandum) maka jarang.”[1]

Dari sini dapat diambil kesimpulan, sebagaimana dinyatakan Ibnu Hajar, bahwa mereka (para sahabat) dalam berzakat Fithri mengeluarkan jenis makanan pokok yang paling utama, dan kurma lebih utama daripada yang lainnya. [2]

Pertimbangan bahwa kedua jenis makanan: kurma dan gandum, pada waktu itu lebih mudah didapat atau biasa dimiliki secara umum lebih diperkuat dengan sejumlah data faktual yang menunjukkan bahwa pada praktiknya para sahabat memperluas jenis makanan dari yang “ditetapkan” oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam

Ibnu Umar menjelaskan:

كَانَ النَّاسُ يُخْرِجُونَ عَنْ صَدَقَةِ الْفِطْرِ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ تَمْرٍ أَوْ سُلْتٍ أَوْ زَبِيبٍ

“Dahulu orang-orang mengeluarkan zakat Fithri di zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam sebesar satu sha’ sya’iir (gandum), tamr (kurma), atau Sult (sejenis gandum yang berwarna putih tak berkulit) atau Zabiib (anggur kering).” (HR An-Nasai, Sunan An Nasai, V:53, No. hadits 2516; As Sunan Al Kubra, II:28, No. hadits 2295)

Abu Said Al Khudriy  menjelaskan:

كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

“Kami mengeluarkan zakat Fithri  1 sha makanan atau 1 sha sya’ir (gandum), atau tamr (kurma), atau aqith (susu kering/keju), atau Zabiib (kismis/anggur kering).” (HR. Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, II:548, No. hadits 1439)

Dalam redaksi lain

كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ لَا نُخْرِجُ غَيْرَهُ

“Kami pernah mengeluarkan zakat Fithri di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam sebesar satu shaa’ kurma, satu shaa’ gandum atau satu shaa’ susu kering. Kami tidak mengeluarkan yang lain.” (HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadits 2518)

Mengapa jenis makanannya diperluas? Kata Abu Sa’id:

كَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ

“Sya’ir (gandum), zabib (kismis/anggur kering), aqith (susu beku/keju), dan tamr (kurma) adalah makanan kami.” (HR. Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, II:548, No. hadits 1439)

Sehubungan dengan itu, meskipun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam menetapkan zakat Fithri dengan dua jenis makanan: kurma & gandum, namun bila muzakki berzakat dengan zabiib (anggur kering) dan aqith (keju) maka penyerahan zakat mereka tetap diterima. Ibnu Umar menjelaskan:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ كُلِّ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ وَحُرٍّ وَمَمْلُوكٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ شَعِيرٍ قَالَ وَكَانَ يُؤْتَى إِلَيْهِمْ بِالزَّبِيبِ وَالأَقِطِ فَيَقْبَلُونَهُ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam telah memerintahkan kepada kami agar mengeluarkan zakat Fithri atas anak kecil dan dewasa, orang merdeka dan hamba sahaya, sebesar satu shaa’ kurma atau satu shaa’ syair (gandum). Dan diserahkan kepada mereka zabiib dan aqith, maka mereka tetap menerimanya.” [3]

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa:

  • Para sahabat memahami hadits Nabi tentang zakat Fithri itu tidak secara mantuq (makna tersurat), namun secara mafhum (makna tersirat),
  • Para sahabat memahami hadits itu bukan sebagai  takhsis (pengkhususan), hal itu terbukti dengan diperluas jenis makanannya,
  • Secara ekonomi, jenis pangan yang dimiliki oleh publik di zaman sahabat sudah lebih berkembang daripada zaman Nabi.

Kedua, dilihat dari sisi mustahiq

Kedua jenis makanan itu (kurma & gandum) lebih bermanfaat untuk orang miskin waktu itu sebagai thu’matan. Dalam hadits diterangkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam mewajibkan zakat Fithri sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin.”[4]

Para ulama menjelaskan:

وَطُعْمَةً وَهُوَ الطَّعَامُ الَّذِي يُؤْكَلُ

“Dan kata thu’mah ialah makanan yang disantap.” Dengan perkataan lain, thu’matan adalah makanan mudah saji dan siap santap.[5]

Dengan demikian berdasarkan pendekatan bayan lit tanshish (keterangan penjelas atau prioritas), dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pokok kewajiban zakat Fithri itu bukan “barangnya” melainkan “nilainya”, yaitu 1 sha’. Sehubungan dengan itu, Abu Sa’id Al Khudriyi mengatakan:

لاَ أُخْرِجُ أَبَدًا إِلاَّ صَاعًا

“Saya tidak akan mengeluarkan zakat Fithri selamanya kecuali sebesar 1 sha’.”

Ukuran 1 sha’ dapat dikonversi dalam ukuran isi (liter), berat (Kg), dan harga (Rp atau mata uang lainnya). Konversi ukuran itu pernah dilakukakan oleh Mu’awiyah sebagaimana diterangkan dalam hadits sebagai berikut:

قَالَ إِنِّي أَرَى أَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ

Ia berkata, “Saya memandang bahwa 2 mud gandum Syam senilai dengan 1 sha kurma.” Maka orang-orang mengambil konversi itu.[6]

Atas dasar pertimbangan di atas, hemat kami, para tabi’in sebagai murid shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salllam, seperti Umar bin Abdul Aziz, Al Hasan Al Bishri, dan Atha telah menetapkan zakat Fithri oleh harga/uang (dirham). Waktu itu Umar bin Abdul Aziz menetapkan nilai 1 sha = ½ dirham.[7]



[1] Lihat, Al Muntaqa Syarh Al Muwatha, II:45

[2] Lihat, Fath Al Bari Syarh Shahih Al Bukhari, III:376

[3] HR. Al Baihaqi, As-Sunan Al Kubra, IV:175, No. 7528

[4] HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:585, No. Hadits 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadits 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadits 1

[5] Lihat Al Ihkam Syarh Ushul Al Ahkam, II:172

[6] HR. Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadits 985; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:113, No. hadits 1616; Al Baihaqi, As-Sunan Al Kubra, IV:165, No. hadits 7490

[7] Lihat, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, II:398