Amalan Ketika di Perjalanan Menuju Shalat ‘Id

A . Berangkat dan Kembali dari Jalan yang Berbeda

Dianjurkan membedakan jalan yang dilalui waktu berangkat dan kembali dari mushala (lapangan tempat shalat).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. membiasakan apabila berangkat menuju ke mushala (tanah lapang) pada waktu ‘Id, beliau menyengaja membedakan jalan yang ditempuh ketika berangkat menuju mushala dengan jalan yang ditempuh ketika beliau kembali ke rumah. Hal itu sebagaimana diterangkan pada hadits berikut ini:

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْعِيْدِ خَالَفَ الطَّرِيْقَ.

Dari Jabir Radhiyallahu ‘Anh, ia mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. apabila hari ‘Id beliau suka membedakan jalan (pergi dan pulang).”[1]

Dan di dalam riwayat lain diterangkan,

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله ُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ إِلَى العِيْدِ يَرْجِعُ فِي غَيْرِ الطَّرِيْقِ اَّلذِي خَرَجَ فِيْهِ.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, ia mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. apabila keluar menuju ‘Id, beliau kembali melalui jalan lain yang dilaluinya ketika berangkat.”[2]

B. Bertakbir

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. mensunnahkan takbiran pada hari raya, sejak keluar dari rumah untuk menuju tempat shalat,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وآله وسلم كَانَ يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرِ وَالتَّهْلِيْلِ حَالَ خُرُوْجِهِ إِلَى الْعِيْدِ  يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى

Dari Ibnu Umar sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. bertakbir dan bertahlil (menyebut laa ilaha illallah) dengan suara keras dari mulai keluar hendak pergi shalat ‘Idul Fitri hingga sampai ke lapang.[3]

Dalam riwayat lain dengan redaksi:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه وسلم كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ  فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. keluar pada hari ‘Idul fitri dengan bertakbir hingga sampai di lapang.”[4]

Dalam riwayat lain dengan redaksi:

كَانَ يَغْدُوْ إِلَى المُصَلَّى يَوْمَ الفِطْرِ إِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ، فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِىَ المُصَلَّى ثُمَّ يُكَبِّرُ بِالمُصَلَّى حَتَّى إِذَاجَلَسَ الإِمَامُ تَرَكَ التَّكْبِيْرَ. – رواه الشافعي –

Ibnu Umar berangkat pagi-pagi menuju mushala (tanah lapang) pada hari ‘Idul fitri apabila terbit matahari, maka beliau bertakbir sehingga mendatangi mushala dan terus beliau bertakbir di mushala itu, sehingga apabila imam telah duduk beliau meninggalkan takbir.[5]

وَقَالَ الحَاكِمُ : وَهَذِهِ سُنَّةٌ تُدَاوِلُهَا أَئِمَّةُ اَهْلِ الحَدِيْثِ وَصَحَّتْ بِهِ الرِّوَايَةُ عَنْ  عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ وَغَيْرِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ.

Dan Al Hakim Mengatakan, “Ini adalah sunnah yang digunakan oleh para ahli hadits, dan sahih tentang ini riwayat dari Abdullah bin Umar dan lain-lain dari kalangan sahabat.”[6]

Adapun takbiran semalam suntuk pada malam Idul Fithri tidak ada dalilnya. Pada umumnya berdasarkan penafsiran terhadap Surat Al Baqarah ayat 185 yang berbunyi;

وَلِتُكْمِلُوا العِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Dan hendaklah kamu sempurnakan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur.

Hemat kami, ayat di atas tidak tepat dijadikan landasan bertakbiran malam ‘Id, bahkan tidak ada kaitan dengan takbiran malam hari raya semalam suntuk apalagi dengan berkeliling dengan berbagai tetabuhan yang menimbulkan kegaduhan dan kebisingan.

Sedangkan bertakbir pada ‘Idul Adha dilakukan sejak subuh 9 Dzulhijjah hingga ashar 13 Dzulhijjah.

عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّارِ أَنَّ النَّبِيَّ  صلى الله عليه وسلم… وَكَانَ يُكَبِّرُ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ بَعْدَ صَلاَةَ الْغَدَاةِ وَيَقْطَعُهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ آخِرَ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ

Dari Ali dan Ammar sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam… dan beliau bertakbir sejak hari Arafah setelah shalat shubuh dan menghentikannya pada shalat Ashar di akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah).[7]

Membacanya tidak terus menerus, melainkan bila ada kesempatan, baik ketika berkumpul di masjid atau di rumah masing-masing atau berbagai kesempatan lainnya, sebagaimana diamalkan oleh Ibnu Umar:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ  يُكَبِّرُ بِمِنىً  تِلْكَ اْ لأَ يَّامَ وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ وَ عَلَى  فِرَاشِهِ وَ فِيْ فُسْطَاطِهِ وَ مَجْلِسِهِ وَ مَمْشَاهُ  تِلْكَ اْلأَيَّامَ جَمِيْعًا

Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu (Tasyriq) setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majelis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya”  (HR. Al Bukhari)

B.1. Cara  Bertakbir

Takbir hari raya terus dilakukan sejak keluar dari rumah menuju mushala (lapangan) sebelum dilakukan shalat dan biasanya dilakukan dengan cara saling berganti, satu atau dua orang bertakbir, dan setelah itu lalu orang bersama-sama takbir. cara bertakbir seperti ini boleh dilakukan bahkan sesuai dengan yang dilakukan di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. berdasarkan hadits sebagai berikut:

وَعَنْ  أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الفِطْرِ وَاللأَضْحَى….وَالْحُيَّضُ يَكُنْ خَلْفَ النَّاسِ يُكَبِّرْنَ مَعَ النَّاسِ. وَلِلْبُخَارِيِّ : قَالَتْ اُمُّ عَطِيَّةَ : كُنَّا نُأْمَرُ أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيْرِهِمْ. – نيل الأوطار، 3 : 349 –

Dari Umi Athiyah Radhiyallahu ‘Anh, ia mengatakan,”Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. memerintahkan kami untuk mengeluarkan mereka pada hari raya ‘Idul fitri dan adha….,dan perempuan-perempuan yang haid dibelakang orang-orang, mereka bertakbir dengan orang-orang. – Adapun menurut riwayat Al Bukhari – Umu Athiyah telah berkata,”Kami diperintah mengeluarkan perempuan-perempuan yang haid, maka mereka bertakbir dengan takbirnya orang-orang.”[8]

Selain itu perintah untuk bertakbir itu bentuknya mutlak, artinya tidak ada batasan dan ketentuan, pada  pokoknya bertakbir baik  sendirian, bersama-sama atau saling bergantian, kesemua itu tidak lepas dari pelaksanaan membaca takbir. Jadi, semua cara telah memenuhi perintah atau anjuran bertakbir.

B.2. Lafal Takbir

Ibnu Hajar menjelaskan:

وَأَمَّا صِيْغَةُ التَّكْبِيْرِ فَأَصَحُّ مَا وَرَدَ فِيْهِ مَا أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ‏:‏كَبِّرُوْا اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا‏…‏ ‏

Adapun shighah (bentuk) takbir, maka yang paling shahih adalah hadits yang ditakhrij oleh Abdur Razaq dengan sanad sahih dari Salman, ia berkata, “Takbirlah, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, kabira.[9]

Selanjutnya Ibnu Hajar juga menjelaskan

وَقِيْلَ يُكَبِّرُ ثِنْتَيْنِ بَعْدَهُمَا لا إله إلا اللَّه و اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وللَّهِ الْحَمْدُ جَاءَ ذلِكَ عَنْ عُمَرَ وَابْنُ مَسْعُوْدٍ

“Dan dikatakan ia bertakbir dua kali (Allahu Akbar, Allahu Akbar), setelah itu Laa ilaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd. Keterangan itu bersumber dari Umar dan Ibnu Mas’ud.[10]

Keterangan di atas menunjukkan bahwa lafal takbir (sesuai dengan amal sahabat) hanya 2 macam:

(1)   Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabiran.

(2)   Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd.

Sedangkan yang memakai lafal tambahan lain selain keterangan diatas, di dalam Fath Al Bari diterangkan: Laa asla lahu (tidak mempunyai sumber sama sekali), yaitu:

  • Lafal Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabiira dengan tambahan wa lillaahilhamdu
  • Lafal Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah
  • Lafal panjang sebagai berikut

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا اللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا اللَّهَ مُخْلِصِينَ له الدَّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ



[1] HR. Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, I: 334, No. hadits 943

[2] HR. Ahmad, Muslim dan At-Tirmidzi, Bustan Al Ahbar Mukhtashar Nail Al Awthar, II:59

[3] HR. Al Baihaqi, Nailul Authar III:355

[4] HR. Ibnu Abu Syibah, Al Mushannaf, I:487

[5] HR. As-Syafi’i, Musnad As-Syafi’i, I: 73

[6] Lihat, Al Mustadrak alas Sahihain, I : 298

[7] HR. Al Hakim, Al Mustadrak, I:439; Al Baihaqi, As-Sunan Al Kubra, III:312

[8] Lihat, Nailul Authar, III : 349

[9] Lihat, Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Dar Al Rayan li Al Turats, Kairo, 1986, II: 536

[10] Lihat, Fathul Bari, Dar Al Rayan li Al Turats, Kairo, 1986, Jilid 2, hal. 536